Bunga Rampai Perjuangan Ulama Santri: Dari Pemberian Nama Jakarta hingga Satu-satunya di Asia Tenggara yang Proklamasinya dalam Bahasa non-Penjajah

RADEN KIAI HAJI ABDULLAH BIN NUH, pembina Majlis Al Gozali, Bogor, tidak hanya sebagai sosok Ulama yang menguasai Kitab Kuning semata. Melainkan juga sebagai seorang pelaku sejarah juga sebagai sejarawan yang mampu menuliskan Sejarah sebagai Ilmu - History as Written. Analisisnya bertolak dari fakta atau data yang diangkat dari referensi buku-buku yang di dalamnya membahas Sejarah sebagai Peristiwa - History as Actually Happened. Terlalu langka untuk kita jumpai perpaduan dua kemampuan yang dimiliki seorang Ulama dan
pembina pesantren, sekaligus sejarawan yang mampu memberikan koreksi terhadap kesalahan penulisan Sejarah Islam Indonesia dalam penulisan Sejarah Indonesia.

Adalah wajar jika seorang Ulama mampu menuliskan Islam sebagai ajaran, seperti masalah Fikih atau Tauhid. Namun, untuk menuliskan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten dan memberikan koreksi kesalahan penafsiran penulisan Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia yang telah dituliskan para penulis terdahulu, sangat langka. Ternyata R.K.H. Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan dan perhatiannya terhadap penafsiran dan penulisan ulang
- reinterpretation and rewrite - sejarah Islam Indonesia sama seperti Haji Agus Salim, Prof. Dr. Buya Hamka, Prof. Osman Raliby, dan Prof. Dr. Abubakar Atjeh.

Dalam karyanya tersebut, tersirat di dalamnya, R.K.H. Abdullah bin Nuh lebih fokus pada peran kepemimpinan dan jawaban Ulama terhadap tantangan zaman. Diperlihatkan dari sisi profesinya, Ulama adalah sebagai wiraniagawan atau wirausahawan dan memiliki penguasaan jalan laut niaga. Dari pasar dan aktivitas pemasarannya, Ulama membangkitkan generasi baru Santri melalui masjid dan pesantren yang dibinanya. Pengaruh lanjutnya dari pasar, masjid, dan pesantren, Ulama dan wirausahawan atau wiraniagawan, bangkitlah kekuasaan politik Islam atau kesultanan. Kemudian lahirlah sekitar empat puluh kekuasaan politik Islam atau kesultanan di seluruh Nusantara Indonesia.

Salah satu di antaranya, Kesoeltanan Banten yang dijadikan contoh Wali Soenan Goenoeng Djati atau Sjarif Hidajatoellah sebagai pembangunnya. Pada umumnya, dalam menuliskan sejarah Sjarif Hidajatoellah sebagai salah seorang wali dari Wali Sembilan tidak dituliskan wawasan politiknya, membangun tiga kekuasaan politik Islam di Jawa Barat: Banten, Jayakarta, , dan Cirebon. Dikisahkan pula Soeltan Baaboellah dari Kesoeltanan Ternate, memiliki garis keturunan dari Sjarif Hidajatoellah.

Selain itu, dituturkan pula bersama Fatahillah sebagai pembangun Jayakarta, 22 Juni 1527 M atau 22 Ramadhan 933 H. Nama Jayakarta diangkat dari AI-Quran Surah 48:1, Inna Fatahna laka Fathan Mubina. Makna Fathan Mubina adalah Kemenangan Paripurna atau Jayakarta. Di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.

Nama Jayakarta melambangkan rasa syukur kepada Allah atas kemenangannya dalam menggagalkan usaha penjajahan Keradjaan Katolik Portoegis di Pelabuhan Kalapa atau Soenda Kalapa. Kedatangannya sebagai pelaksana Testamen Imperialisme Paus Alexander VI dalam Perjanjian Tordesilas 1494 M. Kisah heroik Wali Sanga memelopori melawan penjajah Keradjaan Katolik Portoegis, terlupakan. Wali Sanga lebih banyak dikenang dengan kisah dongengnya.

Pergantian nama di atas seperti peristiwa sejarah tanpa makna, hanya mengubah nama pelabuhan Kalapa menjadi Fathan Mubina atau layakarta, atau jakarta, 22 Juni 1527 M atau 22 Ramadhan 933 H. Namun, empat ratus tahun kemudian bangkit kembali, Fathan Mubina-Jayakarta-Jakarta, dan menjadi nama Iboe Kota Repoeblik Indonesia pada 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364. Sebelumnya, menjadi nama Piagam Djakarta, 22 Djoeni 1945, Djoemat Kliwon, 11 Radjab 1364 H. Serta dikukuhkan pula sebagai nama ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, 17 Agustus 1950 M, Kamis Pahing, 2 Dzulhijjah 1369 H.

Ternyata, nama Jayakarta sebagai karya salah seorang wali dari Wali Sanga dan bersumberkan Al-Quran dan terjadi bertepatan pada Ramadhan. Nama Fathan Mubina atau layakarta sebagai jawaban Ulama dan Santri melawan keputusan Paus Alexander VI dalam Perjanjian Tordesilas, 1494 M, yang memberikan kewenangan Keradjaan Katolik Spanjol dan Portoegis untuk memelopori penegakkan imperialisme atau penjajahan Barat di dunia.

Dari fakta sejarah ini, ternyata Ulama dan Wali Sanga sebagai peletak fondasi dasar nama Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama Fathan Mubina atau Jayakarta, setelah Proklamasi 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364, Puluhan Pertama Ramadhan, Puluhan Rahmat, sebagai lambang runtuhnya kekuasaan penjajah Barat: Keradjaan Katolik Portoegis, Keradjaan Protestan Belanda, dan sekaligus penjajah Timur, Kekaisaran Shinto Djepang di bumi Nusantara lndonesia. jelas hal ini sebagai fakta bahwa kebenaran agama Islam dimenangkan oleh Allah di atas seluruh agama non-Islam (QS al-Fath [48]: 28 ).

Adalh sebuah buku, API SEJARAH: Mahakarya Perjuangan Ulama & Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat judul buku ini terinspirasi dari jiwa dan isi serta makna judul aslinya, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Kesultanan Banten. Penulis melihat sumber tulisan R.K.H. Abdulah bin Nuh menggunakan referensi antara lain Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam. Tidak hanya sebatas menuturkan masalah niaga dan dakwah ajaran Islam, tetapi juga dampak dari upaya penguasaan pasar, jalan laut niaga, maritim, melahirkan kekuasaan politik Islam. Dari kelanjutan dampak perjuangan dakwah Ulama, melahirkan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, Djumat Pahing, 21 Djumadil Awwal 1377. Menjadikan bangsa dan negara Indonesia memiliki batas wilayah laut yang terluas di antara negara-negara di dunia dan batas wilayah negara Republik Indonesia dari Barat ke Timur, Sabang hingga Merauke sama panjangnya dari Greenwich London hingga Baghdad, Irak. Dari utara hingga selatan, Kepulauan Talaut ke Pulau Rote sama dengan dari Jerman hingga Aljazair. Ternyata, perjuangan dakwah wirausahawan dan Ulama diawali dari pasar, dengan masjid dan pesantrennya. Tidak hanya melahirkan mayoritas bangsa Indonesia memeluk Islam sebagai agamanya. Melainkan juga membangkitkan kesadaran politik umat, membangun sekitar 40 kekuasaan politik Islam atau kesultanannya. Kelanjutannya tidaklah heran jika pengaruh perjuangan Ulama melahirkan Proklamasi, 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364. Proklamasi bertepatan dengan Puluhan Pertama Ramadhan sebagai Puluhan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Sebelum Proklamator Ir Soekarno membacakan proklamasinya, ia meminta restu dari beberapa Ulama terkemuka di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Demikian pula ideologi Pantjasila dan konstitusi Oendang Oendang Dasar 1945, perumus pertamanya sesudah Proklamasi 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi,  9 Ramadhan 1364 H adalah UIama: Wachid Hasjim dari Nahdlatoel Oelama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr. Kasman Singodimedjo keduanya dari Persjarikatan Moehammadijah, bersama pemimpin Islam lainnya, yaitu Mohammad Teoekoe Hasan dari Aceh. Hasil perumusannya dilaporkan kepada Drs Mohammad Hatta. Kemudian diserahkan untuk disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agoestoes 1945, Sabtoe Pahing, 10 Ramadhan 1945.

Mungkinkah dasar negara dalam Oendang Oendang Dasar 1945, terumuskan menjadi Negara Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ditempatkan pada Bab XI Pasal 29 yang berjudul Agama, jika perumus pertama setelah proklamasi bukan Ulama. Ternyata karena Ulama maka bangsa dan negara Indonesia memiliki ideologi Pantiasila dan konstitusi Oendang Oendang Dasar 1945.

Mungkinkah Proklamasi 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364, dibacakan dalam Bahasa Indonesia, jika para wirausahawan dan Ulama sejak abad ke 1 H / 7 M tidak menjadikan Bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa komunikasi niaga dan dakwah antar wirausahawan atau wiraniagawan di pasar, dituliskan dalam Huruf Arab Melayu, bukan dengan Huruf Pallawa atau Pra Nagari? Kemudian kelanjutannya berubah menjadi Bahasa Ilmu di pesantren dan Bahasa Diplomatik bahasan hubungan kenegaraan antar kekuasaan politik Islam dengan kerajaan-kerajaan lain dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, satu-satunya bangsa terjajah di Asia Tenggara yang proklamasinya dengan bahasanya sendiri, bukan dengan bahasa penjajah, hanyalah bangsa Indonesia. Dengan kata lain, hanya karena mahakarya Ulama dan Santri bangsa Indonesia memiliki Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Mungkinlah bangsa Indonesia memiliki Sang Saka Merah Putih, jika Ulama tidak membudayakan warna Merah Putih yang berasal dari Bendera Rasulullah saw.? Dihidupkan di tengah masyarakat melalui simbol-simbol budaya: Sekapur Sirih artinya kapur dan sirih melahirkan warna Merah. Seulas Pinang artinya jika pinang di belah, pasti berwarna Putih. Demikian pula upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih saat pembangunan kerangka atap di bagian suhunan. Merupakan bahasa doa memohon Syafaat dari Rasulullah saw. Dibudayakan pula dalam upacara saat pemberian nama bayi atau Tahun Baru Islam dengan membuat bubur merah putih.

Bangsa dan negara lndonesia, tidak hanya memiliki bahasa dan bendera, tetapi juga berkat perjuangan Ulama menjadikan Indonesia memiliki Tentara Nasional Indonesia - TNI pada 5 Oktober 1945, Djoemat KIiwon, 24 Sjawwal 1364. Ada sementara pimpinan nasional saat itu, menoIak negara dan bangsa Indonesia punya TNI, mereka ingin negara tanpa tentara. Cukup hanya dengan polisi semata. Mengapa demikian? Karena TNI dibangun dari mantan Tentara Pembela Tanah Air - Peta. Sedangkan Daidan, mayoritas Daidancho Komandan Batalyon Tentara Peta adalah Ulama. Keinginan penentang pembentukan Tentara Keamanan Rakjat - TKR atau TNI di atas, oleh Letnan Djenderal Oerip Soemohardjo dijawab ' ”aneh soeatoe negara zonder tentara.” Konsolidasi selanjutnya, Soedirman mantan Daidancho Dan Yon Tentara Peta Purwokerto dan guru Moehammadijah, diangkat menjadi Panglima Besar.

Selain itu, jawaban Ulama terhadap dang Makloemat X, 3 November 1945 dalam waktu relatif singkat hanya empat hari sesudahnya, lahirlah Partai Islam Indonesia Masjoumi, 7 November 1945, Rabo Pon,1 Dzulhidjah 1364. Selain sebagai parpol tercepat lahirnya, terbesar jumlah anggotanya, juga berani mengeluarkan pernyataan: 60 Miljoen Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah. Perang di djalan Allah oentoek menentang tiap-tiap pendjadjahan. Pernyataan demikian ini lahir karena Ulama dan Santri merasa berkewajiban melanjutkan perjuangan para Ulama terdahulu, membebaskan Nusantara Indonesia dari segala bentuk penjajahan.

Kemudian karena perjuangan Perdana Menteri Mohammad Natsir sebagai intelektual, Ulama, dan politikus dari Partai Islam Indonesia Masjoemi, Persatoean Islam - Persis, Jong Islamieten Bond - JIB, Partai Islam Indonesia - Pll, melalui Mosi Integral, berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia - NKRI - pada 17 Agustus 1950, Kamis Pahing, 2 Dzulhidjah 1369, sebagai jawaban terhadap gerakan separatis: Angkatan Perang Ratu Adil - APRA pimpinan Westerling di Bandung, Pemberontakan KNIL Andi Aziz di Makasar, dan Republik Maluku Selatan Soumokil di Ambon, yang didalangi oleh van Mook. Sekaligus sebagai jawaban terhadap Proklamasi Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949, oleh S.M. Kartosoewirjo. Dengan demikian berakhir pula Republik Indonesia Serikat - RIS - hanya berlangsung dari 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950 M atau 6 Rabiul Awwal 1369 - 2 Dzulhidjah 1369 H. Berkat perjuangan Ulama maka Republik Indonesia Serikat - RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia - NKRI.

Dari fakta sejarah, terbaca betapa besarnya peran kepemimpinan Ulama dan Santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara dalam menjawab serangan imperialis Barat dan Timur. Diikuti pula dengan perjuangan Ulama dan Santri mempertahankannya serta membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, tepatlah kesimpulan E.F.E. Douwes Dekker Danoedirdjo Setiaboedhi dari Indische Partij:

"djika tidak karena sikap dan semangat perdjuangan para Ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan. "

Sumber: Api Sejarah karya Ahmad Masur Suryanegara

Dalam penulisan ejaan menggunakan tiga macam ejaan: untuk peristiwa sejarah yang terjadi hingga 1947 M, menggunakan Ejaan Ophuysen, kemudian dari 1947 1972 M menggunakan Ejaan Suwandi, dan dari 1972 hingga sekarang menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan - EYD. Dengan harapan pembaca teringat kembali bahwa di Indonesia terjadi ketiga macam ejaan tersebut, jika membaca sumber sejarah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bunga Rampai Perjuangan Ulama Santri: Dari Pemberian Nama Jakarta hingga Satu-satunya di Asia Tenggara yang Proklamasinya dalam Bahasa non-Penjajah"

Post a Comment