Kisah Cinta Paling Mengharukan Sepanjang Masa dari Sepasang Profesor di Cairo Mesir (Bagian 2, Selesai)


Dan masya Allah! Ayah memang merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita,

Sambil menatap ke kaki langit
Kubilang padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai sabuh tiba
Bukan karena ketiadaan kata-kata
Tetapi karena kapu-kapu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangan pagi sekali
dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
seperti burung-burung


Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu pada
isteri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersikeras untuk masuk program magister bersama. Gila! Ide gila! Pikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah berpikir untuk meraih magister. Saya bujuk dia untuk
mengurungkan niatnya. Tapi dia tetap bersikukuh untuk meraih magister, dan menjawab dengan logika yang tak kuasa saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan
keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad
membaja isteriku hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk program magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku dll. Nyaris kami hidup laksana kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air kran. Ya, air kran. Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi kami malah muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengganjal perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa.Dari keterpaksaan itu
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah
saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih, atau pun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan. Dan sebaliknya saya pun merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup nyaman dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.

Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia.


“Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang. bisiknya
mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami
berdua meraih gelar magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih magister pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas kasur empuk. Kami kenal kembali makanan lezat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli Villa berlantai dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi isteriku memang “edan”. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga
dengan logika yang susah saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk. mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita
hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyiapkan dana tambahan.”

Kucium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelar doktor spesialis kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai dokter ahli sekaligus direktur rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universitas. Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.

Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Swt. dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup.

Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri salehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta, dialah Prof. Dr. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera Video menyoting sosok perempuan separo baya yang tampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu tengah mengusap
kucuran airmatanya. Kamera itu juga merekam mata Huda Suthan yang berkaca-kaca, lelehan airmata haru kedua
mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan seksama.

Kisah Nyata ini ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy dengan judul Ketika Derita Mengabadikan Cinta dimuat dalam bukunya "Di Atas Sajadah Cinta, Kisah-Kisah Teladan Islami Peneguh Iman dan Penenteram Jiwa." Untuk kisah-kisah lainnya yang tak kalah mengharukan, silahkan langsung dapatkan dan baca buku luar biasa itu yang diterbitkan oleh Republika Penerbit.

Baca Bagian 1 (Sebelumnya)


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Cinta Paling Mengharukan Sepanjang Masa dari Sepasang Profesor di Cairo Mesir (Bagian 2, Selesai)"

Post a Comment